Gibran Bercanda Bareng Megawati, Prabowo Terlibat Obrolan Akrab di Gedung Pancasila– Rekonsiliasi Diam-Diam?

Gibran, Megawati, dan Prabowo Bercengkrama di Gedung Pancasila

Gibran Bercanda Bareng Megawati, Prabowo Terlibat Obrolan Akrab di Gedung Pancasila– Rekonsiliasi Diam-Diam?
Gibran Bercanda Bareng Megawati, Prabowo Terlibat Obrolan Akrab di Gedung Pancasila– Rekonsiliasi Diam-Diam?

Pagi itu, tanggal 2 Juni 2025, Gedung Pancasila yang terletak di kawasan Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, menjadi saksi dari momen yang tidak hanya sakral, namun juga penuh nuansa kebersamaan dan kehangatan yang jarang terlihat secara terbuka di panggung politik nasional. Dalam balutan peringatan Hari Lahir Pancasila, seluruh mata tertuju pada kekhidmatan upacara, namun di balik layar utama acara, suasana yang lebih akrab dan penuh harapan justru berkembang hangat di ruang holding—ruangan tunggu bagi para pemimpin negara sebelum pelaksanaan upacara dimulai.

Di sana, hadir para tokoh bangsa yang menjadi saksi perjalanan panjang republik ini. Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Ketua Umum PDI Perjuangan sekaligus Presiden kelima Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden ke-6 Try Sutrisno, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla, serta sejumlah pejabat tinggi negara seperti Menteri Sekretaris Negara, Menteri Luar Negeri, Panglima TNI, dan Kapolri. Mereka berkumpul bukan hanya sebagai simbol kebesaran negara, tetapi juga sebagai penanda bahwa persatuan dan kebersamaan masih menjadi napas utama dalam membangun Indonesia ke depan.

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, yang turut hadir dalam ruangan itu, menyampaikan bahwa suasana pagi itu tidak sekadar formalitas protokoler. Justru sebaliknya, holding room menjadi panggung kecil yang menyuguhkan pemandangan besar: keakraban antar tokoh bangsa yang selama ini mungkin dianggap memiliki jarak politik dan perbedaan sejarah. Gibran dan Megawati, dua nama besar dari dua generasi dan dua kutub politik yang sempat bersilang arah, justru terlihat berbincang dengan ringan, bahkan bercanda bersama. Sebuah pemandangan yang mematahkan prasangka, yang selama ini hidup di tengah publik bahwa relasi antara mereka telah membeku.

Gibran, sebagai Wakil Presiden termuda dalam sejarah republik, tampak santai dan terbuka. Ia menghormati Megawati bukan hanya sebagai tokoh politik senior, tetapi juga sebagai seorang ibu bangsa yang pernah memimpin Indonesia dan menyimpan pengalaman sejarah panjang dalam demokrasi Indonesia. Sementara Megawati, dengan segala kharisma dan ketenangan yang khas, membalas sapaan Gibran dengan senyum dan respons bersahabat. Tidak ada kekakuan. Tidak ada kerenggangan. Yang ada justru sebuah komunikasi yang mencair, seolah-olah dua keluarga besar bangsa ini sedang melepas rindu di tengah momentum besar Pancasila.

Menurut Muzani, Megawati duduk berhadapan langsung dengan Gibran. Sementara Presiden Prabowo duduk tidak jauh dari mereka, bahkan sempat terlihat membisikkan sesuatu kepada Megawati. Tak ada yang tahu pasti apa isi bisikan itu, tapi yang jelas bukan rahasia negara yang menegangkan. Justru bahasa tubuh dan ekspresi wajah mereka menunjukkan sesuatu yang hangat, bahkan mungkin jenaka. Di ruangan itu, derai tawa kecil dan senyum yang tulus mengalir alami. Mereka tertawa bukan karena protokoler, tapi karena rasa nyaman yang muncul begitu saja. Di saat bangsa ini sering disuguhi konflik politik yang panas dan kadang menyakitkan, momen seperti ini menjadi oase yang menyejukkan.

Suasana penuh kekeluargaan itu menjadi kesaksian bahwa bangsa ini masih punya harapan besar. Ketika para pemimpin dapat duduk bersama, bercanda, dan berbicara dari hati ke hati, maka energi positif itu akan mengalir ke seluruh penjuru negeri. Indonesia tidak akan tumbuh hanya dari gedung-gedung tinggi atau jalan tol yang membentang, tetapi dari semangat kolektif dan kolaboratif para pemimpinnya. Apa yang terjadi di ruangan kecil itu adalah simbol besar bahwa kita masih punya persatuan. Kita masih punya jalan bersama.

Apalagi peristiwa ini terjadi di Hari Lahir Pancasila, hari yang menjadi pengingat utama bahwa bangsa ini dibangun di atas semangat gotong royong, kemanusiaan, dan persatuan. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan ideologi, Indonesia harus tetap kokoh berdiri dengan fondasi Pancasila. Dan fondasi itu tidak bisa ditegakkan oleh satu pihak saja. Ia butuh semua unsur bangsa. Ia butuh dialog, bukan monolog. Ia butuh canda, bukan curiga. Ia butuh pertemuan, bukan pertengkaran.

Pertemuan antara Gibran dan Megawati adalah simbol rekonsiliasi generasi. Gibran mewakili generasi muda yang tumbuh dalam dunia digital dan realitas politik baru. Megawati mewakili generasi yang lahir dari perjuangan, yang membawa warisan besar Bung Karno. Jika dua generasi ini bisa berbicara dan bercanda, maka ada jembatan sejarah yang tetap terjaga. Indonesia tidak akan tercerabut dari akarnya, tetapi juga tidak akan tertinggal dari masa depan.

Kehadiran Presiden Prabowo yang memimpin langsung upacara, menjadi jaminan bahwa kepemimpinan nasional kini berada dalam tangan yang solid. Ia tidak sekadar memimpin dengan kekuasaan, tapi juga dengan kehendak untuk menyatukan. Prabowo telah menunjukkan gestur politik yang matang dan terbuka. Ia merangkul semua tokoh, termasuk mereka yang dulu menjadi rival politik. Ia memberi ruang bagi persatuan nasional untuk tumbuh, dan momen seperti ini membuktikan bahwa Indonesia sedang berjalan ke arah yang benar.

Melihat Megawati, Gibran, dan Prabowo dalam satu ruangan yang hangat, publik seperti disodorkan harapan baru: bahwa elite bangsa bisa bersatu, dan karena itu rakyat pun bisa percaya. Kepercayaan itu mahal, dan hanya bisa dibeli dengan ketulusan. Tidak dengan pencitraan. Tidak dengan retorika. Tetapi dengan kesediaan para pemimpin untuk hadir bersama, duduk satu meja, dan berbicara dengan hati.

Momen itu harus dijaga dan dilanjutkan. Ia bukan sekadar episode indah yang lewat begitu saja, tapi harus menjadi bagian dari kebiasaan baru. Politik Indonesia harus mulai lebih banyak memproduksi pertemuan ketimbang konflik. Lebih banyak tawa ketimbang celaan. Lebih banyak kerja sama ketimbang saling curiga. Jika suasana seperti ini bisa menjadi rutinitas, maka Indonesia akan punya fondasi sosial-politik yang kuat untuk melompat ke masa depan.

Di balik semua itu, rakyat Indonesia tentu menaruh harapan besar. Harapan bahwa kepemimpinan Prabowo dan Gibran bisa menjadi jembatan antargenerasi, antargolongan, bahkan antarideologi. Bahwa para tokoh seperti Megawati tetap punya ruang untuk memberi nasihat dan pengalaman, tanpa harus berada di garis depan kekuasaan. Bahwa para mantan wakil presiden seperti Jusuf Kalla dan Try Sutrisno masih bisa duduk bersama memberi kesejukan dan menjaga kebijaksanaan.

Indonesia ke depan adalah Indonesia yang bersatu, bukan seragam. Ia akan tetap plural, tetap berbeda, tetapi berjalan dalam satu arah yang sama: menuju kemajuan dan keadilan. Maka, peristiwa sederhana namun sarat makna seperti obrolan dan canda Gibran dan Megawati harus terus diabadikan. Harus dirayakan. Harus diulangi. Karena dari hal-hal kecil itulah, persatuan besar lahir dan tumbuh.

Biarlah hari itu dikenang bukan hanya sebagai peringatan Hari Lahir Pancasila, tapi juga sebagai hari lahirnya harapan baru: harapan akan Indonesia yang penuh kasih, hormat, dan kerja bersama. Di tengah dunia yang terus berubah, Indonesia butuh keteguhan, dan itu bisa dimulai dari tangan-tangan yang bersalaman serta senyum-senyum yang tulus di ruang-ruang pemimpin bangsa.

Semoga kebersamaan itu bukan sekadar seremonial, tapi menjadi budaya. Semoga perbincangan ringan itu bukan hanya basa-basi, tapi benih kerja sama. Dan semoga tawa kecil yang terdengar di ruang holding Gedung Pancasila itu menjadi gema persatuan yang menggema ke seluruh negeri. Karena hanya dengan bersama, Indonesia bisa besar. Dan hanya dengan cinta, negeri ini bisa tumbuh menjadi rumah yang adil dan makmur bagi semua anak bangsa.

-Debora-

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow